Jangan jadi musuh pelajar

Pekan lalu saya mulai karir sebagai guru di SMP. Posisinya menggantikan sementara guru bahasa Inggris yang sedang sakit (mohon doa untuk kesembuhan beliau ya..).

Rasanya ya seperti biasa... Menghadapi anak-anak usia SMP tantangannya kalo bagi saya adalah: antara anak lebay dan anak jaim bergabung di satu tempat. Harus bisa mengimbangi. Remaja itu sulit dibuat terkesima... salah-salah malah kita yang dinilai alay atau sok jaim, dan mereka malah gak menghormati kita.

SMP tempat saya ngajar reputasinya di Bogor terkenalnya basis anak tawuran... anak-anak ekonomi middle-low. Tapi begitu masuk kelas, sebetulnya sebagian besarnya masih sopan dan cukup serius belajar dan beraktivitas. Saya menulis ini untuk konteks aja. Bukan lagi adu nasib atau mendiskreditkan posisi ini dengan sesuatu. 

Bagi orang yang merasa bahwa dunia ini hitam-putih... bahwa anak sekolah sepatutnya jadi pintar dan sopan, orang sukses itu yang kaya dan berpangkat, sebaiknya ubah mindset ini. Itu semua idealitas, dan untuk menuju keidealan itu ada kondisi titik mulai yang tidak ideal. Dan pendidik adalah agen perubahan realitas tidak ideal itu menuju idealitas.

Tapi pintar dan sukses juga luas spektrumnya... jadi poinnya adalah, mari kita belajar untuk gak berpikiran sempit.

Balik lagi ke soal sekolah. Anak 'nakal' atau 'kurang mampu' sebetulnya ada di mana-mana... Tapi tidak sepatutnya mereka mendapatkan diskriminasi perlakuan dari siapapun. Semua murid yang ada di sekolah punya hak untuk mendapatkan perhatian dan didikan. Bukan cuma materi pelajaran dan tuntutan untuk memenuhi skor minimum.

Sudah lumayan lama sebetulnya saya tidak jadi guru. Selama ini jadi instruktur. Formalitas belajar di ruangannya hanya 1-2 pekan saja di training, sisanya membelajarkan dan jadi teladan sepanjang waktu dengan posisi yang egaliter. Walau sama antara guru dan instruktur: kita hanya belajar 'satu malam lebih awal' dari peserta didik kita. Apalagi hari ini, informasi dan sumber belajar sudah ada di genggaman. Atas dasar itu dan kesadaran bahwa sangat mungkin kita yang jadi belajar dari teman-teman peserta, jadi apa yang mesti membedakan kita dengan mereka kalau soal kepintaran bisa diadu? 

Keteladanan dan kebijaksanaan.

Murid harus belajar adab sebelum ilmu. Mereka harus bisa membersihkan diri dan meluruskan niat untuk bisa dimasuki cahaya pengetahuan dan kebijaksanaan dari perantara gurunya.

Guru tidak semestinya terlalu berjarak dengan peserta didiknya. Pemahaman tidak akan masuk dalam keadaan takut dan tidak nyaman. Para pelajar usia remaja ini butuh afeksi... apalagi kalau dirumahnya dia tidak mendapatkan ruang apresiasi dan privasi.

Suatu hari ada event di sekolah dan pejabat-pejabat kota hadir. Di tempat yang tidak terlalu besar, ruangan panas, jam makan siang anak-anak tergeser dan topik materi menarik untuk didiskusikan... Tentu ada beberapa menit di mana anak-anak tidak tertib. Mereka makan bekalnya di waktu yang belum ada aba-aba untuk makan, mereka agak main-main ke temannya untuk tetap segar dan mengobrol yang beberapanya saya dengar adalah tanggapan mengenai topik yang di bahas. Saya yang standby di antara mereka tidak setegas itu menegur. Bagi saya masih cukup wajar, ini situasi di mana mereka butuh untuk berpartisipasi tapi haknya untuk merasa nyaman tidak terpenuhi. Tapi ada wajah yang tidak senang melihat saat-saat ketidak tertiban ini dan merasa perlu marah.

Orang dewasa ini memang kompleks persoalan hidupnya. Perannnya lebih dari satu. Kalau pikirannya overload apalagi dompetnya krisis --atau merasa apa yang didepan matanya ini kalo dikerjain effortnya gak worth the money, udah gitu berhadapan sama manusia yang makin nambah masalah, bawaannya pengen meledak.

Terlepas dari penelitian bahwa dampak emosi negatif pada anak itu tidak baik, saya pribadi tidak mau menggunakan emosi negatif saya dalam kondisi di mana saya dan pihak yang berinteraksi saya butuh untuk terhubung. Kalau saya sampai marah, bagi saya 'yang bener aja.. rugi dong'. Energi saya gak sebesar itu untuk marah atau acting marah.. Misal masih bisa dikasih tau dengan cara baik-baik, ngapain marah. Apakah menahan marah ini worth the price? Bagi saya mendidik mah utamanya ikhlas dan ridho walau tentu saya hitung juga perjamnya berapa wkwk tapi akan ada juga keberkahan yang saya gak akan bisa ngitungnya.

Dari kisah-kisah inspiratif beberapa tokoh yang bisa kita baca atau dengar, guru yang dikenang orang-orang itu ketika sedang krisis maupun sukses adalah guru yang percaya pada potensinya dan membimbingnya dengan perhatian. Guru yang marah malah menimbulkan trauma dan membuat orang ingin lari... bukan hanya dari realita, bahkan bisa sampai merasa ingin hilang aja dari dunia ini. 

Saya mencoba jadi guru yang baik bukan karena ingin dikenangnya, atau menyesuaikan tren era 'gentle parenting' dan betapa guru-guru muda hari ini se'masuk circle' itu sama muridnya, tapi karena sadar sistem negara ini sering tidak adil. Begitupun sistem-sistem lainnya. 

Murid, peserta didik, para pelajar ini mesti dibukakan pandangannya mengenai bagaimana sistem ini bekerja. Bagaimana penerimaan mereka terhadap sistem yang ada? Apa yang harus dilakukan supaya mereka bisa punya sistem yang lebih berterima? Itu salah dua hal yang akan mereka refleksikan dengan didikan yang mereka terima. 

Masanya pelajar hari ini beserta masa depannya berbeda dengan masa pelajar yang lalu. Kalau kita yang 'tua' selalu berpesan menitipkan masa depan pada mereka yang muda, lalu mereka punya ide-ide dan kerja-kerja kebaruan, kita yang hidup lebih dulu jangan kehilangan kemampuan adaptasi.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Inisiatif untuk inklusif, bukan cuma bikin perempuan lebih aktif

Ngampus tapi gak belajar

Keputusan untuk jadi baru